Reklamasi Pasca Tambang (Full Teori)

 

LANDASAN TEORI

 


 

3.1  Pengertian Reklamasi

Reklamasi menurut keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1211 K/008/M.PE/1995, Pasal 1 butir C adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki dan menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdaya sesuai dengan peruntukannya.

 

3.2  Dasar Hukum Reklamasi

-          Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 0185 K/008/M.PE/1988 tanggal 18 Februari 1988 ; tentang pedoman teknis penyajian informasi lingkungan dan analisis dampak lingkungan oleh kegiatan reklamasi dibidang Pertambangan umum dan Pertambangan minyak dan gas bumi.

-          Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1211 K/008/M.PE/1995, tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan usaha Pertambangan Umum.

-          Keputusan Direktur jenderal Pertambangan umum No. 336 K/271/DDJP/1996, tentang Jaminan Reklamasi.

 

 

3.3  Tujuan Reklamasi Daerah Bekas Tambang

Menurut “US Surface Mining And Reklamation Act Of 1977”, tujuan reklamasi daerah bekas tambang adalah sebagai berikut :

1.      Penyelamatan tanah lapisan atas

2.      Stabilitas lahan

3.      Pencegahan erosi

4.      Penanaman kembali, sehingga memberikan vegetasi yang memuaskan.

Bila lapisan tanah bagian atas tidak diamankan dan ditutup kembali, maka biasanya akan dihadapkan pada masalah-masalah pada lapisan tanah bagian bawah  sebagai berikut :

a.       Kesuburan tanah rendah

b.      pH rendah

c.       Kadar garam tinggi.

Disamping itu kompetisi rumput alami dengan gulma lainnya menyebabkan tanaman atau pohon-pohon yang ditanam tumbuh jelek.. Untuk melindungi tanah dan aliran permukaan, dengan jalan perencanaan dan pengelolaan tanaman dan pola tanam yang memberikan penutupan maksimum.

 

3.4  Tahapan-Tahapan Reklamasi

3.4.1        Perbaikan sifat fisik lahan

Kegiatan penambangan yang dilakukan dengan cara selektif mining berada pada kondisi yang rusak. Untuk meratakan kembali lahan yang telah rusak keseimbangannya dilakukan dengan jalan penimbunan dan penggusuran. Tanah timbunan diperoleh dari sekitar daerah tersebut atau dari tempat penimbunan tanah penutup yang ditimbun pada saat stripping sebelum penambangan. Peralatan yang digunakan pada kegiatan ini adalah Bulldozer dan Excavator. Untuk menghitung produksi alat gusur/alat dorong yang digunakan menggunakan persamaan :

 

-          Perhitungan produksi alat gusur atau dorong :

 


Dimana :

P    =  Produksi Alat Dorong (ton/jam)

Eff =  Efisiensi Kerja (%)

Sf   =  Swell Faktor (%)

H    =  Kapasitas Blade (m3)

D    = Density Loose (ton/m3)

Ff   =  Fill Faktor (%)

Ct   =  Cycle Time (menit)


 

-          Untuk menghitung produksi alat gali/muat

 



 Dimana :

 

P          =  Produksi alat gali (ton/jam)

Eff       = Efisiensi Kerja (%)

Sf        = Swell Faktor (%)

H         = Kapasitas Bucket (m3)

D         = Density Insitu (ton/m3)

Ff        = Fill Faktor (%)

Ct        = Cycle Time (menit)

 


Kemampuan alat-alat mekanis untuk bekerja, baik itu alat angkut maupun alat muat sangat dipengaruhi oleh sifat fisik material faktor pengembangan (Swell Factor). Faktor pengembangan dari suatu material merupakan penambahan volume material dari keadaan semula yang terkonsolidasi sebagai akibat adanya pembongkaran atau penggalian. Pendekatan yang biasa digunakan untuk menghitung faktor pengembangan suatu material (faktor pengisian) adalah sebagai berikut :

 

  

Tabel 3.1

BOBOT ISI DAN FAKTOR PENGEMBANGAN

DARI BERBAGAI MATERIAL

 

Macam Material

Density (lb/cuyd)

Swell Faktor (%)

 

Bauksit

Tanah liat kering

Tanah liat basah

Antharacite

Bituminoe

Bijih Tembaga

Tanah biasa kering

Tanah biasa basah

Tanah biasa, campur pasir dan kerikil

Kerikil (gravel), kering

Kerikil (gravel), basah

Granit, pecah-pecah

Hematite, pecah-pecah

Bijih besi (iron ore), pecah-pecah

Batu kapur, pecah-pecah

Lumpur

Lumpur, sudah ditekan

Pasir, kering

Pasir, basah

Shale

Slate

2700-4325

2300

2800-300

2200

1900

3800

2800

3370

3100

3250

3600

4500

6500-8700

3600-5500

2500-4200

2160-2970

2970-3510

2200-3250

3300-3600

3000

4590-4860

75

85

82-80

74

74

74

85

85

90

89

88

67-56

45

45

60-57

83

83

89

80

75

77

 

Sumber: Ir. Rochmanhadi, Alat-alat berat dan pengunaannya, Departemen

Pekerjaan Umum

               

 

            Untuk nilai Fill Factor dapat ditentukan berdasarkan kondisi tanah dan kondisi muat, seperti pada tabel 3.2 dibawah ini :

 

Tabel 3.2

BLADE FILL FAKTOR

KATEGORI

KONDISI MUAT

FAKTOR

Mudah

Tanah yang lepas dapat didorong dengan baik pada blade yang penuh kandungan air yang rendah, tanah yang tidak kompak, material di stock file.

0,9 –1,1

Sedang

Tanah lepas yang tidak mungkin didorong oleh blade penuh.

Tanah campur kerikil, pasir, pecahan batu yang baik.

0,7 – 0,9

Agak sulit

Tanah liat yang lengket dan mengandung air yang tinggi, campur kerikil, tanah liat kering dan tanah insitu.

0,6 – 0,7

Sulit

Batu hasil ledakan atau potongan batu yang besar, bongkahan, lempengan tidak teratur atau batu hasil ledakan, pasir campur bongkahan tanah pasiran, tanah liat padat yang tidak dapat disekop kedalam bucket.

0,4 – 0,6

 

Sumber: Ir. Rochmanhadi, Alat-alat berat dan pengunaannya, Departemen Pekerjaan Umum                   

   

            Nilai bucket fill factor diperoleh berdasakan kondisi tanah dan kondisi muat seperti pada tabel 3.3 dibawah ini :

Tabel 3.3

BUCKET FILL FACTOR

 

KATEGORI

KONDISI  MUAT

FAKTOR

Mudah

Gali dan muat untuk material stock pile atau material yang akan dihancurkan oleh alat Excavator dan tanpa menggunakan tenaga ahli untuk memuat bucket, misalnya pasir, tanah pasiran, dengan kadar air yang sedang

 

0.8 – 1.0

Sedang

Gali dan muat dari tempat persediaan untuk peralatan yang lebih sulit menembus dan menyekop, tetapi lebih mudah untuk memenuhi bucket, misal pasir kering, tanah berpasir, tanah liat, gumpalan pasir atau gravel, dan lainnya, gali dan muat untuk gravel lunak yang langsung dari bukit

0.6 – 0.8

Agak Sulit

Gali dan muat untuk batuan, tanah liat keras, dan gravel pasir, tanah berpasir, tanah liat yang lengket,tanah laiat dan sebagainya dengan air yang tinggi sehingga sulit mengisi bucket

0.1 – 0.5

 

Sumber : Hamidah A. Rahim, Rencana Teknis Reklamasi Daerah Bekas Tambang Bijih Nikel Blok GD     PT. Minerina Bhakti Pulau Gee Kecamatan Maba Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara

 

 

3.4.2        Perbaikan sifat kimia tanah

Perbaikan sifat kimia tanah, sebagai berikut :

-           Penyebaran tanah humus (Top Soil)

Penyebaran tanah penutup dilaksanakan dengan tujuan untuk mempercepat pengembalian unsur hara tanah.

-           Pemupukan

Pemupukan adalah langkah selanjutnya setelah penyebaran tanah timbunan. Pemupukan dilakukan dilakukan pada awal penanaman dan pada saat pemeliharaan agar tanaman dapat tumbuh dengan subur. Adapun pupuk yang diberikan adalah pupuk anorganik dan organik

Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari hasil buatan manusia secara kimia. Masalah utama yang perlu mendapat perhatian dalam pemakaian pupuk buatan adalah reaksi kimianya, yaitu pupuk tersebut mempunyai sifat mengasamkan.

 

3.4.3        Penyaliran

Penyaliran atau drainase adalah suatu aktifitas yang bertujuan untuk mengatasi kelebihan air pada daerah lokasi penambangan agar tidak terjadi genangan-genangan air yang mengganggu kegiatan tambang dan salah satu yang potensial menimbulkan genangan air adalah air hujan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara pembuatan saluran yang berfungsi untuk mengendalikan air yang masuk pada lokasi penambangan menuju ke aliran air alamiah, misalnya sungai, danau atau laut.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan penirisan adalah debit air, yaitu jumlah air yang diperkirakan akan masuk ke daerah reklamasi pada saat hujan datang. Perhitungan debit air ini berfungsi membantu dalam perencanaan pembuatan saluran drainase. Perhitungan didasarkan pada beberapa hal antara lain :

a.      Curah hujan maksimum yang pernah terjadi pada daerah penelitian dengan menggunakan perbandingan curah hujan dari beberapa data curah hujan yang pernah terjadi dari tahun ke tahun.

b.      Koefisien limpasan, merupakan perbandingan antara jumlah limpasan dengan jumlah curah hujan dalam jangka waktu yang cukup lama.

c.      Luas daerah tangkapan hujan, merupakan luas pengaruh hujan dimana air jatuh yang diperkirakan akan masuk ke daerah penelitian.

 

3.4.3.1 Perhitungan Debit Air Areal

Tujuan perhitungan jumlah debit air yang akan masuk ke daerah reklamasi adalah untuk membantu perancangan atau pembuatan saluran atau drainase. Sehingga air yang masuk ke daerah reklamasi yang mana dapat mengakibatkan kerusakan lahan dan tanaman, dapat tersalurkan pada drainase tersebut. Perhitungan didasarkan pada curah hujan maksimum yang pernah terjadi selama 10 tahun dan metode yang digunakan adalah metode rasional (Imam Subarkah, 1980) dengan persamaan :

 

Q  =  0,278 C I A ……………………………………………………… (3-3)

Dimana :

Q  =  Debit limpasan hujan (m3/detik)

            C  =  Koefisien limpasan

            I   =  Intensitas curah hujan (mm/jam)

            A  =  Luas daerah tangkapan hujan (Km2)

a.      Koefisien limpasan

Koefisien limpasan merupakan konstanta yang menyatakan perbandingan antara jumlah limpasan dengan jumlah curah hujan dalam jangka waktu yang cukup lama. Besarnya jumlah limpasan tergantung pada daerah turunnya hujan (hutan, perumahan,tumbuhan yang jarang, daerah tambang, dan lain-lain), dan persentase kemiringannya. Harga C pada persamaan 3-3 biasanya diambil untuk tanah jenuh disaat permulaan hujan sehingga sulit ditentukan. Maka untuk suatu daerah yang belum ditentukan harga koefisien limpasannya dapat menggunakan Tabel 3.4

Tabel  3.4

HARGA KOEFISIEN LIMPASAN

 

Kemiringan

Kegunaan Lahan

Koefisien limpasan

 

< 3%

- Sawah, rawa

- Hutan,  perkebunan

- Perumahan dengan kebun

0,2

0,3

0,4

 

3% - 5%

- Hutan,  perkebunan

- Perumahan

- Tumbuhan yang jarang

- Tanpa tumbuhan, daerah  penimbunan         

0,4

0,5

0,6

0,7

 

>15%

- Hutan

- Perumahan, kebun

- Tumbuhan yang jarang

- Tanpa tumbuhan, daerah tambang

0,6

0,7

0,8

0,9

Sumber : Takeda Kensaku, Suyono Sosrodarsono, “Hidrologi Untuk Pengairan”,1993.

 

 

Dari tabel diatas sebagaimana lokasi tambang bijih nikel Tanjung Buli yang merupakan daerah tambang dimana diketahui bahwa untuk daerah dengan kemiringan lebih besar 15 % dan tanah di daerah ini berjenis lempung padat, maka diambil koefisien limpasan yaitu 0,9.

   

b.      Intensitas curah hujan

Intensitas Curah Hujan adalah jumlah hujan yang jatuh dalam areal tertentu dalam jangka waktu yang relatif singkat, dinyatakan dalam mm/detik, mm/menit dan atau mm/jam. Untuk mengetahui intensitas curah hujan disuatu tempat, maka digunakan alat pencatat curah hujan. Intensitas curah hujan biasanya dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam, yang artinya tingkat dan kedalaman yang terjadi adalah sekian mm dalam periode 1 jam. Untuk itu hanya didapat dari data pengamatan curah hujan otomatis. Intensitas curah hujan (I) dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

               

Dimana :

I        = Intensitas curah hujan (mm/jam)

Rn     = Curah hujan harian maksimum (mm)

t        = Lama waktu hujan (jam)

         




Dimana:

t       = Lama hujan maksimum (1/6 sampai 12 jam)

f       = Luas tangkapan hujan (kurang dari 100 km2)

     = Koefisien aliran (Tabel 3.4)

ß      = Koefisien Reduksi (Tabel 3.5)

q      = Curah hujan maksimum per hari (m3/km2/detik)

i        = Kemiringan

            Besarnya intensitas curah hujan diketahui berdasarkan lama curah hujan atau frekuensi kejadiannya.

Tabel 3.5

HARGA PERSENTASE KOEFISIEN REDUKSI

 

f

Hujan Selama Beberapa Jam

Km2

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

12

16

20

24

 

0

10

50

300

 

 

44

37

29

20

12

 

64

57

45

33

23

 

80

70

57

43

32

 

89

80

66

52

42

 

92

82

70

57

50

 

92

84

74

61

54

 

 

93

87

79

69

66

 

 

94

90

83

77

74

 

95

91

88

85

83

 

96

95

94

93

92

 

98

97

96

95

94

 

100

100

100

100

100

 

Sumber: Melchior

 

Koefisien Reduksi adalah perbandingan antara hujan rata-rata dan hujan maksimum yang terjadi di suatu daerah tangkapan hujan pada waktu yang sama. Besarnya persentase ditentukan berdasarkan luas elips dan lamanya hujan

 

 

c.      Luas daerah tangkapan hujan

Luas daerah tangkapan hujan adalah luas daerah pengaruh hujan dimana airnya jatuh pada daerah tersebut diperkirakan akan mengalir masuk ke daerah yang akan direklamasi.

 

3.4.3.2 Dimensi Saluran

Saluran berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air dari suatu daerah ke tempat pengumpulan atau check dam. Bentuk penampang saluran umumnya dipilih berdasarkan debit air, tipe material pembentukan saluran serta kemudahan dalam pembuatannya. Perhitungan pengaliran suatu saluran air ditentukan dengan menggunakan rumus Manning sebagai berikut :

 

Q =   x R2/3 x S1/2 x A .................................................................................... (3-6)

Keterangan :

             Q  = Debit aliran maksimum (m3/detik)

             A  = Luas penampang basah (m2)

             n   = Koefisien kekerasan dinding salurah (Tabel 3.6)

             R  = Jari-jari koefisien hidrolis

             S  = Gradien saluran (%)

 

Tabel 3.6

KOEFISIEN KEKERASAN MANNING

 

No

Tipe Dinding Saluran

Harga  n

1

2

3

4

5

6

7

Semen

Beton

Batu

Besi

Tanah

Gravel

Tanah yang ditanam

0,010 – 0,014

0,011 – 0,016

0,012 – 0,020

0,013 – 0,017

0,020 – 0,030

0,022 – 0,035

0,025 – 0,045

  Sumber : Rudy Sayoga, “ Pengantar Penirisan Tambang” ITB, 1993

 

Sedangkan untuk menghitung dimensi saluran dan hal yang perlu diketahui dalam pembuatan saluran adalah :

         Z       = Cotg a ...................................................................................................    (3-7)

         B       = b + 2X ...................................................................................................    (3-8)

         d       = h + w   ...................................................................................................    (3-9)

         b       = 2 [(1 + z2)1/2 – z]   .................................................................................  (3-10)

         A       = b + z . h2 ...............................................................................................   (3-11)

       

         X      = z (h + w)  ..............................................................................................   (3-14)

Dimana :         

B       = Lebar permukaan saluran (m)

d       = Kedalaman saluran (m)

b       = Lebar dasar saluran (m)

A      = Luas penampang saluran (m2)

R       = Jari-jari hidrolik (m)

P       = Keliling basah saluran (m)

a       = Panjang sisi saluran (m)

      = Sudut kemiringan saluran ( o )

h       = Kedalaman air (m)

n       = Koefisien Manning

w      = Faktor keamanan

 

3.4.4        Penanaman

Faktor-faktor penunjang penanaman, antara lain :

3.4.4.1  Unsur Hara Tanah

Diketahui bahwa tanaman memerlukan beberapa macam unsur dalam pertumbuhannya. Unsur-unsur tersebut dibutuhkan dalam jumlah yang besar yaitu : C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg dan Fe, sedangkan dalam jumlah kecil Cu, Mn, dan Zn. Bila unsur yang dibutuhkan tanaman terdapat lengkap dalam media pertumbuhannya maka tanaman akan subur, sebaliknya bila salah satu unsur hara yang dibutuhkan itu kurang atau tidak ada sama sekali maka pada tanaman akan terlihat gejala kurang subur yang akibatnya tanaman tidak dapat tumbuh atau mati.

Lahan bekas tambang khususnya tambang terbuka pada umumnya mengalami kekurangan unsur hara. Hal ini disebabkan karena tanah penutup yang banyak mengandung unsur hara telah dibuka dan disingkirkan dari tempat aslinya.

 

3.4.4.2  Keasaman Tanah

Keasaman tanah sangat berpengaruh terhadap tersedia atau tidaknya unsur hara tanaman. Dalam hal ini kita mengenal pH tanah yaitu suatu ukuran terhadap keasaman suatu tanah. Dra. Hakim Nurhayati dalam bukunya berjudul ”Dasar-Dasar Ilmu Tanah membagi pH tanah dalam 9 tingkatan. Untuk lebih jelasnya seperti pada tabel 3.7 dibawah ini :

 

Tabel 3.7

pH Tanah

 

pH

Reaksi

< 4,5

4,6 – 5,0

5,1 – 5,5

5,6 – 6,0

6,1 – 6,5

6,6 – 7,0

7,1 – 7,5

7,6 – 8,0

> 9,0

Sangat asam

Asam sekali

Agak asam

Sedikit asam

Kurang asam

Netral

Sedikit basa

Agak basa

Sangat basa

Sumber : “ Dasar-Dasar Ilmu Tanah (Dra. Hakim Nurhayati)

Previous
Next Post »
Thanks for your comment