A.
Kedudukan
(orientasi) bidang lemah
. |
Untuk
menyatakan kedudukan bidang lemah didalam dimensi ruang (agar dapat dianalisis
dengan mudah), maka untuk menentukan arah dipakai besaran sudut terhadap posisi
utara (azimuth), sedangkan untuk menentukan kemiringan dipakai besaran sudut
terhadap bidang datar.
1.
Jurus/ kemiringan (strike/dip)
a.
Jurus (srike) adalah arah (azimuth) dari suatu garis
lurus yang merupakan perpotongan antara bidang obyek dengan bidang datar,
ditulis sebagai N xx o E
(atau cara lainnya). Dalam hal ini bidang obyek berada di sebelah kanan.
b.
Kemiringan (dip) besarnya sudut antara garis lurus pada
bidang obyek yang tegak lurus terhadap jurus dengan bidang datar.
c.
Jurus/ kemiringan (strike/ dip) ditulis sebagai : N xx o E/ yy o
2.
Arah kemiringan (dip/ dip direction)
§
Orientasi dari suatu bidang obyek dapat juga
dinyatakan sebagai arah kemiringan (dip direction). Untuk itu maka sudut
azimuth jurus harus ditambah dengan 90 o , sehingga orientasi bidang
diatas dapat ditulis sebagai : N (xx +
90) o E/ yy o atau yang lebih populer ditulis : yy o/
N (xx + 90) o E.
B. Pengukuran Orientasi Bidang Lemah
Pengukuran
dilakukan dengan sistematik dan diusahakan dapat mewakili penyebaran bidang lemah yang ada di seluruh
daerah penyelidikan, agar hasil analisis yang dilakukan dapat mendekati keadaan
sebenarnya.
Hal
penting yang harus diperhatikan adalah jangan sampai terjadi pengukuran ulang
atau terlewat, meskipun di lapangan hal ini mungkin sulit dilakukan
- Peralatan pengukuran
Dalam
melakukan pengukuran orientasi bidang lemah di lapangan, peralatan yang
dipergunakan adalah kompas geologi, meteran pita, dan alat bantu lainnya
(clipboard, palu geologi, dll.)
- Metoda pengukuran
Dalam melakukan
pengukuran kedudukan bidang lemah atau struktur ada 2 cara yang sering
dipergunakan, yaitu metoda fotogrametri dan metoda pengukuran dengan kompas
geologi langsung di lapangan pada garis pengukuran (metoda scan line). Dalam kuliah ini yang akan dibicarakan hanya metoda
yang kedua yaitu pengukuran dengan kompas pada garis pengukuran (Gambar 6).
Untuk dapat
melakukan pengukuran secara sistematik dan mengurangi terjadinya pengukuran
ulang adalah dengan menerapkan metoda garis pengukuran (scan line). Dalam hal
ini yang penting adalah bahwa jarak antara garis pengukuran diusahakan sama
dengan persistensi bidang lemah (panjang garis perpotongan permukaan dengan
bidang lemah). Tinggi garis pengukuran dari lantai pengukuran paling tidak sama
dengan ketinggian mata pengamat, panjang
bentangan garis pengukuran tidak kurang dari 10 X jarak kekar rata-rata di
daerah tersebut dan diusahakan tidak kurang dari 30 meter. Pengukuran strike/
dip dilakukan sepanjang garis pengukuran yang bersangkutan dan sebaiknya dilakukan
2 X (maju dan mundur). Hasil pengukuran dan pengamatan bidang lemah dicatat
pada formulir pengamatan sepertui pada Gambar 7.
- Pembagian blok pengukuran
Untuk
suatu bukaan tambang (dimana dinding lereng akan membentuk su-atu pola
tertutup) atau jalan raya yang berbelok-belok, maka perlu dilaku-kan pembagian
blok sesuai dengan orientasi lereng yang akan dibuat atau sesuai dengan pola
orientasi bidang lemah yang ada. Hal ini akan mempermudah pengukuran di
lapangan maupun dalam melakukan analisis kestabilannya.
- Pengecekan hasil pengukuran
Dalam
suatu daerah/ blok/ permukaan tertentu, jumlah bidang lemah yang diukur
orientasinya bervariasi, tergantung pada kondisi dan sifat penyebar-annya.
Setelah pengukuran dilakukan pada beberapa scan line pada suatu blok tertentu (±
100 hasil pengukuran), maka perlu dilakukan plotting + pembuatan kontur kutub
(pole) bidang lemah tersebut pada stereo net (Schmidt net/ equal area net) di lapangan. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui apakah hasil pengukuran yang telah dilakukan sudah mencukupi atau
belum.
Jika
hasil plotting belum menunjukkan suatu pola tertentu (≥ 20 %) maka ditambah
dengan 300 pengukuran berikutnya dan 400 hasil pengu-kuran tersebut diplot/
kontur lagi sampai didapatkan pola orientasi yang jelas. Tetapi, kalau sampai
dengan 600 pengukuran atau lebih hasilnya tetap tidak menunjukkan pola tertentu
(tersebar merata pada stereo net), maka pengukuran untuk blok tersebut dapat
dianggap cukup. (Cara pengecekan yang lebih detil diberikan oleh Staufer (1966)
dalam Hoek dan Bray, 1981).
Gambar 6: Garis Pengukuran (scan
line)
Gambar 7: Contoh Formulir
Pengamatan Lapangan
C. Karakteristik Bidang Lemah dan Kekuatan Massa Batuan
Batuan umumnya
mempunyai kekuatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan tanah,
tetapi massa
batuan kekuatannya umumnya lebih rendah diban-dingkan terhadap kekuatan batuan
utuhnya. Berkurangnya kekuatan massa
batuan tersebut adalah karena kehadiran bidang-bidang lemah (struktur geologi)
pada batuan yang tadinya merupakan batuan utuh tersebut.
Kekuatan massa batuan hampir
sepenuhnya dipengaruhi oleh karakteristik bidang-bidang lemahnya, terutama
sistem kekarnya. Beberapa kondisi bidang lemah (baik sendiri atau gabungan)
sangat mem-pengaruhi kekuatan massa
batuannya, yaitu kohesi sisa (Cr) maupun sudut geser dalam sisanya (
Фr). Kondisi-kondisi tersebut adalah :
1.
Kekasaran (roughness),
bidang struktur yang permukaannya kasar apabila dikenai tegangan geser akan
menghasilkan angka kohesi maupun sudut geser dalam yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang permukaannya halus (licin)
2.
Kegelombangan (waviness),
permukaan bidang struktur yang bergelombang atau bergerigi juga akan menghasilkan
angka kohesi yang lebih tinggi dibandingkan permukaan yang tidak berkelombang
(lurus).
3.
Lebar bukaan, bukaan bidang struktur yang lebar akan
menghasilkan kekuatan yang lebih rendah dibandingkan bukaan yang sempit.
4.
Material pengisi dan sifat-sifatnya, kalau bukaan
struktur terisi oleh material yang kekuatannya rendah, lunak, lembab (misalnya
mineral lempung) maka kekuatan batuannyapun akan rendah karena material pengisi
tersebut berfungsi sebagai pelumas. Tetapi jika material pengisinya mem-punyai
kekuatan yang tinggi atau bertindak sebagai perekat (misalnya ku-arsa, kalsit,
dll) maka kekuatan massa
batuannya akan lebih tinggi.
5.
Jarak kekar, adalah jarak tegak lurus antara dua kekar
yang berurutan pada garis pengukuran. Jarak dan perpotongan antar kekar (bidang
lemah) sangat mempengaruhi kekuatan massa
batuan. Massa
batuan dengan sistem kekar rapat dan/ atau saling berpotongan jelas kekuatannya
jauh lebih kecil dibandingkan yang kekarnya jarang, apalagi terhadap batuan
utuh.
ISRM
merekomendasikan pemakaian standar jarak kekar yang dibuat oleh Attewel (1981,
yang telah diperbarui) seperti pada Tabel dibawah ini :
Klasifikasi jarak kekar menurut
Attewel (1993)
Uraian
|
Struktur planar
|
Jarak
|
Sangat lebar
|
Perlapisan sangat
tebal
|
> 2 m
|
Lebar dan luas
|
Perlapisan tebal
|
600 – 2000 mm
|
Lebar sedang
|
Perlapisan sedang
|
200 – 600 mm
|
Dekat
|
Perlapisan tipis
|
60 – 200 mm
|
Sangat dekat
|
Perlapisan sangat
tipis
|
20 – 60 mm
|
Sangat berlapis (b
sedimen)
|
6 – 20 mm
|
|
Perlapisan sempit
(b metamorf & b
beku)
|
6 – 20 mm
|
|
Berfoliasi (b
metamorf)
|
6 – 20 mm
|
|
Sangat dekat sekali
|
< 20 mm
|
|
Perlapisan tipis (b
sedimen)
|
< 6 mm
|
|
Sangat berfoliasi
(b metamorf)
|
< 6 mm
|
Gambar 8: Contoh histogram jarak kekar
6.
Persistensi (panjang) kekar, kekar yang berukuran besar
(sperti juga bidang perlapisan dan sesar) akan menampakkan persistensi yang
tinggi (kenampakan kekar yang panjang). Persistensi kekar yang tinggi akan
mengakibatkan kemungkinan perpotongan antar kekar yang lebih tinggi, yang
berarti memperlemah kekuatan massa
batuan.
7.
Keberadaan air, aliran atau rembesan air di dalam
bidang lemah akan memperlemah kekuatan massa
batuan karena air dapat menjadi pelumas terjadinya pergeseran, dan keberadaan
air juga akan meningkatkan beban akibat tambahan tekanan hidraulik. Sedangkan
bidang lemah yang tidak berair (kering) tidak akan mengalami hal tersebut.
Dalam analisis
longsoran kekuatan massa
batuan yang berperan adalah kuat geser (shear
strength). Kuat geser untuk bidang lemah dapat ditentukan dari uji
laboratorium atau uji lapangan (insitu) dengan menggunakan kriteria selubung
Patton atau kurva selubung Barton sbb:
1.
Selubung bilinier Patton
a) untuk harga σn kecil :
Γp
= σn tan (φr +
i)
b) jika harga
σn besar : Γp = σn tan (φr)
dimana φr = sudut geser dalam sisa (lab) dan
i = sudut kekasaran kekar (lapangan)
2.
Kurva selubung Barton
Γp =
σn tan ( JRC log σc /
σn + φb )
dimana JRC = koefisien kekasaran kekar (Joint
Roughness Coefficient)
σc = kuat tekan dinding kekar
φb = sudut geser dasar ( = φr
)
Gambar 9: Permukaan bidang yang kasar dan JRC (Barton, 1977)
D. Beberapa Istilah Penting
1.
Batuan utuh
(intact rock) adalah potongan atau
blok batuan dengan ukuran kecil atau besar, yang tidak dipsahkan oleh struktur
(kekar, sesar, retakan, rekahan dll.), bersifat homogen dan isotrop sehingga
kekuatan maupun pe-nyebaran tegangan pada semua bagiannya dapat dianggap sama
kesemua arah.
2.
Massa batuan (rock mass) adalah susunan potongan atau blok batuan yang dipisahkan
oleh bidang-bidang lemah yang umumnya adalah struktur geologi (sesar, bidang
perlapisan, sistem kekar, rekahan) sehingga kekuatannya berkurang, dan
perambatan tekanan/ tegangan ke semua arah pada batuan tersebut tidak merata.
Bagian dari massa
batuan yang paling lemah adalah pada bidang batas batuan utuhnya (struktur)
yang karena itu disebut sebagai bidang lemah.
3.
Kondisi day light adalah kondisi dimana arah
bidang lemah sama/ selaras dengan arah lereng, dan keduanya saling berpotongan
pada permukaan terbuka.
4.
Rock Quality
Designation (RQD) menyatakan tingkat kerapatan kekar pada massa batuan. RQD dapat dipakai sebagai data
tambahan/ bahan pertimbangan dalam analisis kestabilan/ kemantapan lereng
batuan.
RQD dapat
ditentukan dengan 2 cara yaitu :
Dari data
pemboran (coring) :
RQD dihitung dari persentase dari jumlah panjang
potongan batuan utuh (core) yang lebih dari 10 cm terhadap panjang total
penembusan pemboran dengan panjang run
minimum 2 meter.
∑ potongan core ≥ 10 cm
RQD = --------------------------------- x 100
%
panjang (run) pemboran
Dari pemetaan
struktur (pengukuran kekar) :
Priest dan Hudson (1976) mengusulkan
perhitungan RQD dari data frekuensi kekar pasda permukaan batuan dengan persamaan
:
RQD = 100 e –0.1
λ (0.1 λ + 1)
dimana : λ = rata-rata frekuensi kekar / meter
5.
Rock Mass Rating
(RMR) adalah suatu metoda penilaian peringkat kekuatan massa batuan untuk tujuan-tujuan kemantapan
bukaan. Meskipun secara langsung tidak dapat dipakai untuk memprediksi
kemantapan lereng, tetapi secara kualitatif
RMR juga dapat membantu analisis kemantapan lereng. Semakin kecil nilai
peringkat massa
batuan semakin kecil pula tingkat kemantapan lerengnya. Klasifikasi massa batuan dikenalkan
a.l. oleh Bieniawski (RMR, 1989) dan Barton (Q-System, 1974)