Bidang Lemah (Struktur) dalam Kemantapan Lereng

A.    Kedudukan (orientasi) bidang lemah

.
Seperti yang telah diuraikan diatas, bidang lemah adalah merupakan salah satu parameter penting dalam kemantapan lereng, karena keberadaannya akan merubah batuan utuh menjadi massa batuan dan karena itu kontinuitas kekuatannya menjadi terganggu. Tetapi dalam analisis kemantapan lereng pada massa batuan, yang harus diperhatikan dan diperhitungkan bukanlah keberadaan bidang lemah tersebut saja, tetapi dalam hal ini kedudukan atau orientasi dari bidang-bidang lemah tersebut juga merupakan faktor yang sangat penting, terutama untuk melakukan analisis terhadap jenis longsoran, arah longsoran, serta besarnya gaya-gaya yang bekerja pada lereng tersebut.

Untuk menyatakan kedudukan bidang lemah didalam dimensi ruang (agar dapat dianalisis dengan mudah), maka untuk menentukan arah dipakai besaran sudut terhadap posisi utara (azimuth), sedangkan untuk menentukan kemiringan dipakai besaran sudut terhadap bidang datar.
Fig 1. Kelerengan salah satu tambang besar.


1.      Jurus/ kemiringan (strike/dip)

a.       Jurus (srike) adalah arah (azimuth) dari suatu garis lurus yang merupakan perpotongan antara bidang obyek dengan bidang datar, ditulis sebagai N xx o E (atau cara lainnya). Dalam hal ini bidang obyek berada di sebelah kanan.

b.      Kemiringan (dip) besarnya sudut antara garis lurus pada bidang obyek yang tegak lurus terhadap jurus dengan bidang datar.

c.       Jurus/ kemiringan (strike/ dip) ditulis sebagai : N xx o E/ yy o

2.      Arah kemiringan (dip/ dip direction)

§  Orientasi dari suatu bidang obyek dapat juga dinyatakan sebagai arah kemiringan (dip direction). Untuk itu maka sudut azimuth jurus harus ditambah dengan 90 o , sehingga orientasi bidang diatas dapat ditulis sebagai : N (xx + 90) o E/ yy o atau yang lebih populer ditulis :  yy o/ N (xx + 90) o E.

B.     Pengukuran Orientasi Bidang Lemah

Pengukuran dilakukan dengan sistematik dan diusahakan dapat mewakili  penyebaran bidang lemah yang ada di seluruh daerah penyelidikan, agar hasil analisis yang dilakukan dapat mendekati keadaan sebenarnya.

Hal penting yang harus diperhatikan adalah jangan sampai terjadi pengukuran ulang atau terlewat, meskipun di lapangan hal ini mungkin sulit dilakukan


  1. Peralatan pengukuran
Dalam melakukan pengukuran orientasi bidang lemah di lapangan, peralatan yang dipergunakan adalah kompas geologi, meteran pita, dan alat bantu lainnya (clipboard, palu geologi, dll.)

  1. Metoda pengukuran
Dalam melakukan pengukuran kedudukan bidang lemah atau struktur ada 2 cara yang sering dipergunakan, yaitu metoda fotogrametri dan metoda pengukuran dengan kompas geologi langsung di lapangan pada garis pengukuran (metoda scan line). Dalam kuliah ini yang akan dibicarakan hanya metoda yang kedua yaitu pengukuran dengan kompas pada garis pengukuran (Gambar 6).

Untuk dapat melakukan pengukuran secara sistematik dan mengurangi terjadinya pengukuran ulang adalah dengan menerapkan metoda garis pengukuran (scan line). Dalam hal ini yang penting adalah bahwa jarak antara garis pengukuran diusahakan sama dengan persistensi bidang lemah (panjang garis perpotongan permukaan dengan bidang lemah). Tinggi garis pengukuran dari lantai pengukuran paling tidak sama dengan  ketinggian mata pengamat, panjang bentangan garis pengukuran tidak kurang dari 10 X jarak kekar rata-rata di daerah tersebut dan diusahakan tidak kurang dari 30 meter. Pengukuran strike/ dip dilakukan sepanjang garis pengukuran yang bersangkutan dan sebaiknya dilakukan 2 X (maju dan mundur). Hasil pengukuran dan pengamatan bidang lemah dicatat pada formulir pengamatan sepertui pada Gambar 7.

  1. Pembagian blok pengukuran
Untuk suatu bukaan tambang (dimana dinding lereng akan membentuk su-atu pola tertutup) atau jalan raya yang berbelok-belok, maka perlu dilaku-kan pembagian blok sesuai dengan orientasi lereng yang akan dibuat atau sesuai dengan pola orientasi bidang lemah yang ada. Hal ini akan mempermudah pengukuran di lapangan maupun dalam melakukan analisis kestabilannya.

  1. Pengecekan hasil pengukuran
Dalam suatu daerah/ blok/ permukaan tertentu, jumlah bidang lemah yang diukur orientasinya bervariasi, tergantung pada kondisi dan sifat penyebar-annya. Setelah pengukuran dilakukan pada beberapa scan line pada suatu blok tertentu (± 100 hasil pengukuran), maka perlu dilakukan plotting + pembuatan kontur kutub (pole) bidang lemah tersebut pada stereo net (Schmidt net/ equal area net)  di lapangan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah hasil pengukuran yang telah dilakukan sudah mencukupi atau belum.

Jika hasil plotting belum menunjukkan suatu pola tertentu (≥ 20 %) maka ditambah dengan 300 pengukuran berikutnya dan 400 hasil pengu-kuran tersebut diplot/ kontur lagi sampai didapatkan pola orientasi yang jelas. Tetapi, kalau sampai dengan 600 pengukuran atau lebih hasilnya tetap tidak menunjukkan pola tertentu (tersebar merata pada stereo net), maka pengukuran untuk blok tersebut dapat dianggap cukup. (Cara pengecekan yang lebih detil diberikan oleh Staufer (1966) dalam Hoek dan Bray, 1981).



Gambar 6: Garis Pengukuran (scan line)





Gambar 7: Contoh Formulir Pengamatan Lapangan

C.    Karakteristik Bidang Lemah dan Kekuatan Massa Batuan

Batuan umumnya mempunyai kekuatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan tanah, tetapi massa batuan kekuatannya umumnya lebih rendah diban-dingkan terhadap kekuatan batuan utuhnya. Berkurangnya kekuatan massa batuan tersebut adalah karena kehadiran bidang-bidang lemah (struktur geologi) pada batuan yang tadinya merupakan batuan utuh tersebut.

Kekuatan massa batuan hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh karakteristik bidang-bidang lemahnya, terutama sistem kekarnya. Beberapa kondisi bidang lemah (baik sendiri atau gabungan) sangat mem-pengaruhi kekuatan massa batuannya, yaitu kohesi sisa (Cr) maupun sudut geser dalam sisanya ( Фr). Kondisi-kondisi tersebut adalah :

1.      Kekasaran (roughness), bidang struktur yang permukaannya kasar apabila dikenai tegangan geser akan menghasilkan angka kohesi maupun sudut geser dalam yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang permukaannya halus (licin)

2.      Kegelombangan (waviness), permukaan bidang struktur yang bergelombang atau bergerigi juga akan menghasilkan angka kohesi yang lebih tinggi dibandingkan permukaan yang tidak berkelombang (lurus).

3.      Lebar bukaan, bukaan bidang struktur yang lebar akan menghasilkan kekuatan yang lebih rendah dibandingkan bukaan yang sempit.

4.      Material pengisi dan sifat-sifatnya, kalau bukaan struktur terisi oleh material yang kekuatannya rendah, lunak, lembab (misalnya mineral lempung) maka kekuatan batuannyapun akan rendah karena material pengisi tersebut berfungsi sebagai pelumas. Tetapi jika material pengisinya mem-punyai kekuatan yang tinggi atau bertindak sebagai perekat (misalnya ku-arsa, kalsit, dll) maka kekuatan massa batuannya akan lebih tinggi.

5.      Jarak kekar, adalah jarak tegak lurus antara dua kekar yang berurutan pada garis pengukuran. Jarak dan perpotongan antar kekar (bidang lemah) sangat mempengaruhi kekuatan massa batuan. Massa batuan dengan sistem kekar rapat dan/ atau saling berpotongan jelas kekuatannya jauh lebih kecil dibandingkan yang kekarnya jarang, apalagi terhadap batuan utuh.

ISRM merekomendasikan pemakaian standar jarak kekar yang dibuat oleh Attewel (1981, yang telah diperbarui) seperti pada Tabel dibawah ini :


Klasifikasi jarak kekar  menurut Attewel (1993)

Uraian
Struktur planar
Jarak
Sangat lebar
Perlapisan sangat tebal
> 2 m
Lebar dan luas
Perlapisan tebal
600 – 2000 mm
Lebar sedang
Perlapisan sedang
200 – 600 mm
Dekat
Perlapisan tipis
60 – 200 mm
Sangat dekat
Perlapisan sangat tipis
20 – 60 mm

Sangat berlapis (b sedimen)
6 – 20 mm

Perlapisan sempit
(b metamorf & b beku)
6 – 20 mm

Berfoliasi (b metamorf)
6 – 20 mm
Sangat dekat sekali

< 20 mm

Perlapisan tipis (b sedimen)
< 6 mm

Sangat berfoliasi (b metamorf)
< 6 mm






Gambar 8: Contoh histogram jarak kekar

6.      Persistensi (panjang) kekar, kekar yang berukuran besar (sperti juga bidang perlapisan dan sesar) akan menampakkan persistensi yang tinggi (kenampakan kekar yang panjang). Persistensi kekar yang tinggi akan mengakibatkan kemungkinan perpotongan antar kekar yang lebih tinggi, yang berarti memperlemah kekuatan massa batuan.

7.      Keberadaan air, aliran atau rembesan air di dalam bidang lemah akan memperlemah kekuatan massa batuan karena air dapat menjadi pelumas terjadinya pergeseran, dan keberadaan air juga akan meningkatkan beban akibat tambahan tekanan hidraulik. Sedangkan bidang lemah yang tidak berair (kering) tidak akan mengalami hal tersebut.

Dalam analisis longsoran kekuatan massa batuan yang berperan adalah kuat geser (shear strength). Kuat geser untuk bidang lemah dapat ditentukan dari uji laboratorium atau uji lapangan (insitu) dengan menggunakan kriteria selubung Patton atau kurva selubung Barton sbb:

1.      Selubung bilinier Patton

a)  untuk harga σn  kecil :     Γp = σn  tan (φr + i)

b) jika harga σn  besar :     Γp = σn  tan (φr)

dimana   φr  = sudut geser dalam sisa (lab) dan
               i   = sudut kekasaran kekar (lapangan)  

2.      Kurva selubung Barton

Γp = σn  tan ( JRC log σc / σn + φb )

dimana  JRC = koefisien kekasaran kekar (Joint Roughness Coefficient)
                σc  = kuat tekan dinding kekar
                φ= sudut geser dasar ( = φr )


Gambar 9: Permukaan bidang yang kasar dan JRC (Barton, 1977)

Gambar 10: Prediksi kekuatan bidang lemah yang kasar (Barton, 1977)


D.    Beberapa Istilah Penting

1.      Batuan utuh (intact rock) adalah potongan atau blok batuan dengan ukuran kecil atau besar, yang tidak dipsahkan oleh struktur (kekar, sesar, retakan, rekahan dll.), bersifat homogen dan isotrop sehingga kekuatan maupun pe-nyebaran tegangan pada semua bagiannya dapat dianggap sama kesemua arah.

2.      Massa batuan (rock mass) adalah susunan potongan atau blok batuan yang dipisahkan oleh bidang-bidang lemah yang umumnya adalah struktur geologi (sesar, bidang perlapisan, sistem kekar, rekahan) sehingga kekuatannya berkurang, dan perambatan tekanan/ tegangan ke semua arah pada batuan tersebut tidak merata. Bagian dari massa batuan yang paling lemah adalah pada bidang batas batuan utuhnya (struktur) yang karena itu disebut sebagai bidang lemah.

3.      Kondisi day light adalah kondisi dimana arah bidang lemah sama/ selaras dengan arah lereng, dan keduanya saling berpotongan pada permukaan terbuka.

4.      Rock Quality Designation (RQD) menyatakan tingkat kerapatan kekar pada massa batuan. RQD dapat dipakai sebagai data tambahan/ bahan pertimbangan dalam analisis kestabilan/ kemantapan lereng batuan.
RQD dapat ditentukan dengan 2 cara yaitu :

Dari data pemboran (coring) :
RQD  dihitung dari persentase dari jumlah panjang potongan batuan utuh (core) yang lebih dari 10 cm terhadap panjang total penembusan pemboran dengan panjang run minimum 2 meter.

 ∑ potongan core ≥ 10 cm
RQD =  --------------------------------- x 100 % 
 panjang (run) pemboran

Dari pemetaan struktur (pengukuran kekar) :
Priest dan Hudson (1976) mengusulkan perhitungan RQD dari data frekuensi kekar pasda permukaan batuan dengan persamaan :

RQD = 100 e –0.1 λ (0.1 λ + 1)

dimana :  λ = rata-rata frekuensi kekar / meter

5.      Rock Mass Rating (RMR) adalah suatu metoda penilaian peringkat kekuatan massa batuan untuk tujuan-tujuan kemantapan bukaan. Meskipun secara langsung tidak dapat dipakai untuk memprediksi kemantapan lereng, tetapi secara kualitatif  RMR juga dapat membantu analisis kemantapan lereng. Semakin kecil nilai peringkat massa batuan semakin kecil pula tingkat kemantapan lerengnya. Klasifikasi massa batuan dikenalkan a.l. oleh Bieniawski (RMR, 1989) dan Barton (Q-System, 1974)


Previous
Next Post »